30 Agustus 2007

PLTN Gunung Muria, Deal or No Deal ?

Hingga sekarang kontroversi rencana pembangunan PLTN Gunung Muria di semenanjung Muria, Kabupaten Jepara, masih terus berlanjut. Perlu diketahui, bahwa pembangunan PLTN ini diperkirakan memerlukan dana sekitar 67 Trilyun Rupiah. Darimana dana diperoleh untuk pembangunan ini ? Sudah barang tentu yang nomor satu dan utama adalah: berasal dari pinjaman negara-negara yang sudah maju.

Ditinjau dari jarak langsung, antara lokasi PLTN dan rumah saya –Mervandi- hanya beberapa belas kilometer saja. Secara pribadi pendapat saya terpecah (ada konflik istilahnya). Sisi akademis dan intelektualitas (gayanya) saya mendukung PLTN atau setidaknya berpendapat bahwa PLTN mau tidak mau pasti akan dibangun juga entah kapan dan dimana di Indonesia ini; tetapi sisi humanitas dan posesifitas saya menolak kehadiran PLTN di dekat rumah saya. Harus diakui, bahwa sisi humanitas saya ini yang lebih kuat dari sisi akademis saya.

Menurut saya, dengan digulirkannya rencana pembangunan PLTN tersebut mempunyai dampak sangat besar bagi lingkungan bisnis di ’sekitar’ PLTN. Pengusaha jenang dan pengusaha rokok yang terkenal sangat banyak di kudus, jelas-jelas menolak rencana pembangunan ini. Dampak nyata juga akan dialami oleh bidang real estate. Salah satu diantaranya adalah: berkurangnya atau habisnya nilai real properti yang berada di ’sekitar’ PLTN. Hal ini dikarenakan rencana pembangunan PLTN dipersepsikan sebagai pembawa pengaruh –adjustmen- negatif bagi nilai properti.

Nah, pada akhirnya, karena nilai properti sudah habis (tidak ada nilainya, bahkan bernilai negatif), maka tidak ada pajak real properti (PBB) yang bisa dipungut; dan karena tidak jalannya –alias madegnya- roda perekonomian dan bisnis, maka tidak ada PPh yang bisa dipungut, maka kantor pelayanan pajak sudah tidak dibutuhkan lagi.

Masalahnya definisi ’sekitar’ PLTN ini sangat luas. Harian Suara Merdeka pada salah satu edisinya yang berbicara tentang PLTN secara khusus, menyatakan bahwa terdapat beberapa ring / zona keamanan PLTN. Zona pertama adalah sampai dengan sekitar 30 km dari lokasi PLTN, zona kedua adalah mencapai 50 km dari lokasi PLTN –dan ini berarti Kota Semarang termasuk dalam zona 2 ini, dan berikutnya adalah zona 3 –entah berapa km- kira-kira mencapai kendal, batang, pekalongan. Hal ini berarti rumah saya berada di zona 1 yang tentu saja efeknya paling maksimal dari yang lain.

Apa efek PLTN ? Banyak, yang paling sulit diterka adalah radiasinya. Karena radiasi PLTN tidak perlu langsung membunuh manusia atau makhluk hidup di sekitarnya. Efek radiasi / kontaminasi nuklir bisa terjadi tanpa disadari, bertahun-tahun lamanya dan dapat menimbulkan perubahan sel kromosom (mutasi gen) yang berdampak turun menurun pada generasi-generasi selanjutnya.

Kiranya sisi keamanan dan keselamatan menjadi concern utama dalam tarik ulur pembangunan PLTN ini. Beberapa sikap / perilaku yang ditunjukkan oleh banyak pejabat / penggedhe bangsa ini sangat merisaukan masyarakat jepara, kudus, dan sekitarnya. Perilaku seperti tidak tertib alias tidak disiplin pada prinsip kerja, manipulasi data dan informasi, budaya KKN, aji mumpung –mumpung berkuasa, bisa membuat kebijakan-kebijakan yang irresistable-, dan sebagainya tentu masih menjadi momok bagi alasan keamanan dan keselamatan ini.

Bagaimana kalau pemerintah dan pelaksana pembangunan dan operasional PLTN nantinya mampu menjamin bahwa kelemahan di bidang mental attitude bisa ditangani, apakah akan melenyapkan kekawatiran masyarakat ? Sayang sekali jawabannya adalah tidak. Karena masih ada faktor yang lebih dahsyat dari manusia atau SDM ini, yaitu faktor alam. Bagaimana mengendalikan alam atau memantau pergerakannya ? Mungkin hal itu akan dikupas tuntas habis di pameran geospasial indonesia kedua di Jakarta akhir Agustus ini, tapi implementasi dari apapun hasil kajian ilmiah tersebut masih memerlukan tindak lanjut dan waktu yang lama. Masih jauh panggang dari api.

Sebagai bagian akhir dari posting ini, saya sampaikan hasil ringkasan (summary) yang saya buat berdasarkan artikel pada Harian Kompas, tanggal 14 Juni 2007 pada halaman 7 kolom 1 oleh Otto Sumarwoto – Guru Besar Emeritus Ekologi Universitas Padjajaran Bandung, dengan judul Kontroversi PLTN. Artikel tersebut berusaha secara obyektif meninjau siapa dan apa latar belakang pro dan kontra seputar PLTN Gunung Muria, sehingga akhirnya dapat sampai pada kesimpulan.

Berikut ini adalah ringkasannya:

Pertama berkaitan dengan yang pro PLTN sebagai berikut:

A.1. Pihak yang pro:

1. Ilmuwan nuklir dan pakar PLTN (BATAN)

2. Industri tenaga nuklir


A.2. Alasan pro:

1. Merupakan sumber listrik alternatif karena sumber konvensional (minyak, batu bara dan gas) makin menipis;

2. Harga listrik PLTN kompetitif;

3. Aman: per Twy (terrawattyear) kematian (manusia) yang disebabkan PLTN adalah 8 per Twy.

4. Terkait isu pemanasan global: PLTN selama operasi tidak mengemisikan gas rumah kaca CO2. Berdasarkan analisis daur hidup (penambangan uranium, pemurnian, pengoperasian PLTN, pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dan pembongkaran instalasi PLTN yang mencapai akhir daur gunanya -use cycle), emisi CO2 lebih rendah daripada sumber konvensional;

5. Karenanya, PLTN adalah sumber energi berkelanjutan.


A.3. Persepsi pro:

1. Nisbah Untung/rugi = besar (keuntungan atau manfaatnya jauh lebih besar daripada faktor negatifnya);

2. Kesediaan menerima resiko = besar.


Kedua, berkaitan dengan pihak yang kontra berikut ini:

B.1. Pihak yang Kontra:

1. LSM;

2. Akademik;

3. Gus Dur


B.2. Alasan kontra:

1. Tidak dapat dijamin keamanannya – kasus Three Miles Island (AS, 1976) dan Chernobyl (Rusia, 1986);

2. Limbah nuklir baru aman setelah disimpan 10000 tahun;

3. Perlu diperhatikan angka kematian / kesakitan yang tidak segera terjadi karena penyinaran radioaktif –misalnya dari kecelakaan Chernobyl;

4. Laporan kenaikan leukimia anak di sekitar PLTN Sellafield, Inggris;

5. Perlu dibandingkan dengan kematian karena pembangkitan listrik dengan angin, surya, mini-mikrohidro, dan bahan bakar hayati (BBH) yang dikenal sangat aman;

6. Pencemaran udara;

7. PLTN menggunakan uranium yang non renewable (tak terbarukan) yang pada suatu saat akan habis, sehingga PLTN bukanlah sumber energi berkelanjutan;

8. Emisi CO2 lebih rendah, apabila: menggunakan bahan tambang berkualitas tinggi yang berkadar uranium 1% atau lebih (misal batuan tambang lunak atau soft ore –batas emisinya 0,0015%); namun bila makin rendah kualitas batuan tambang yang digunakan (misal granit -batas emisi lebih tinggi), akan semakin tinggi emisi CO2. Oxford Research Group dalam laporannya kepada British House of Commons pada tahun 2005 menyatakan bahwa: emisi CO2 PLTN bervariasi antara 20% - 120% dari PLTU gas, tergantung pada kualitas batuan tambangnya. Sebagian besar batuan tambang uranium yang diketahui, mempunyai kualitas rendah. Dengan adanya permintaan untuk bahan bakar nuklir yang juga naik, pada akhirnya batuan tambang berkualitas rendah juga akan ditambang (sehingga emisi CO2nya lebih tinggi daripada konvensional). Jadi, tidak ada jaminan akan mengurangi emisi CO2.


B.3. Persepsi kontra:

1. Nisbah Untung/rugi = kecil (merasa tidak atau sedikit merasa mendapatkan keuntungan);

2. Kesediaan menerima resiko = rendah.


C. Kesimpulan:

Seharusnya PLTN menjadi alternatif terakhir. Kembangkan dulu alternatif yang lain, termasuk upaya penghematan energi dengan menaikkan efisiensi penggunaan energi yang bersifat terbarukan (angin, surya, mikrohidro, BBH –Bahan Bakar Hayati) yang mempunyai keuntungan bersifat tersebar, sehingga dapat dibangun di desa-desa dan pulau kecil, sehingga pembangunan dapat merata –pro rakyat miskin.

PLTN memerlukan jejaring transmisi grid yang mahal untuk dapat mencapai pedesaan, apalagi untuk mencapai pulau-pulau kecil.

Sudah seharusnya, PLTN tidak menjadi prioritas dalam pembangunan.


[Mervandi sih setuju dengan Bapak Otto Sumarwoto. Pengikut Gus Dur seharusnya menolak PLTN :) ].

1 Comment:

Anonim said...

Ini ketemu info dari 'sebelah': http://public.kompasiana.com/2009/07/13/energi-nuklir-siapa-takut/