15 Agustus 2007

La Tahzan (by: Akhid Manhal)

Pengantar: Berikut ini adalah postingan dari Rekan Akhid Manhal M. MT. (thanks to him)

Assalamu’alaikum..

Pada saat ini sebagian besar dari kita, kalau tidak boleh dikatakan semua, para alumni angkatan 6 geomatika, sekian lamanya dihadapkan pada kondisi ketidakpastian hari esok mengenai tempat, jabatan, tugas dan mungkin jumlah penghasilan, karena belum diterimanya SK penempatan definitif. Ada baiknya mungkin kalau saya bagikan suatu cuplikan tulisan yang berkorelasi (inget data non spasial nih..) dengan kondisi kita. Cuplikan itu dari buku “La Tahzan (Jangan Bersedih)” karya Dr. Aidh Al-Qarni, barangkali sudah pada baca ato malah udah pada punya, tapi kayaknya tidak jelek juga kita baca lagi. Moga-moga bermanfaat.

BIARKAN MASA DEPAN DATANG SENDIRI

Telah pasti datangnya ketetapan Allah, maka janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya (Q.S. An Nahl:1)

Jangan pernah mendahului sesuatu yang belum terjadi. Apakah kita mau mengeluarkan kandungan sebelum waktunya dilahirkan, atau memetik buah-buahan sebelum masak? Hari esok adalah sesuatu yang belum nyata dan belum dapat diraba, belum berwujud dan tidak memiliki rasa dan warna. Jika demikian, mengapa kita harus menyibukkan diri dengan hari esok, mencemaskan kesialan-kesialan yang mungkin terjadi padanya, memikirkan kejadian-kejadian yang akan menimpanya dan meramalkan bencana-bencana yang bakal terjadi di dalamnya?Bukankah kita juga tidak tahu apakah kita akan bertemu dengannya atau tidak, daan apakah hari esok kita itu akan berwujud kesenangan atau kesedihan?

Yang jelas, hari esok masih ada dalam alam gaib dan belum turun ke bumi. Maka, tidak sepantasnya kita menyeberangi sebuah jembatan sebelum sampai di atasnya. Sebab, siapa yang tahu bahwa kita akan sampai atau tidak pada jembatan itu. Bisa jadi akan terhenti jalan kita sebelum sampai ke jembatan itu, atau mungkin pula jembatan itu hanyut terbawa arus terlebih dahulu sebelum kita sampai di atasnya. Dan bisa jadi pula, kita sampai pada jembatan itu kemudian menyeberanginya.

Dalam syariat, memberi kesempatan kepada pikiran untuk memikirkan masa depan dan membuka-buka alam gaib, dan kemudian terhanyut di dalam kecemasan-kecemasan yang baru diduga daarinya, adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Pasalnya hal itu termasuk thulul amal (angan-angan yang terlalu jauh). Secara nalar, tindakan itupun tidak masuk akal, karena sama halnya deengan berusaha perang melawan baying-bayang. Namun ironisnya, kebanyakan manusia di dunia ini justru banyak yang termakan oleh ramalan-ramalan tentang kelaparan, kemiskinan, wabah penyakit dan kesulitan ekonomi yang kabarnya akan menimpa mereka.

Mereka yang menangis sedih menatap masa depan adalah yang menyangka diri mereka akan hidup dalam kelaparan, menderita sakit selama bertahun-tahun dna memperkirakan umur dunia ini tinggal seratus tahun lagi. Padahal, orang yang sadar bahwa hidupnya berada di “genggaman yang lain”tentu tidak akan menggadaikannya untuk sesuatu yang tidak ada. Dan orang yang tidak tahu kapan akan mati, tentu salah besar bila justru menyibukkan diri dengan sesuatu yang belum ada dan tak berwujud.

Biarkan hari esok itu datang dengan sendirinya. Jangan pernah menanyakan kabar beritanya, dan jangan pula pernah menanti serangan petakanya. Hari ini mungkin kita sudah sangat sibuk (O, ya..?)

Jika anda heran, maka lebih mengherankan lagi orang-orang yang berani menebus kesedihan suatu masa yang belum tentu matahari terbit di dalamnya dengan bersedih pada hari ini. Oleh karena itu, hindari angan-angan yang berlebihan.

Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.

1 Comment:

mas vandi said...

Tausiah yang sangat bagus.
Memang terkadang kita terlalu berlibihan dalam berharap dan bersedih akan masa depan yang bahkan belum tentu tiba.
Terima kasih, cukup untuk menyegarkan kusutnya semangat.