30 Agustus 2007

Rancangan Undang-undang Tata Informasi Geospasial Nasional (RUU TIGNas) (2)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

NOMOR :

TAHUN :

TENTANG

TATA INFORMASI GEOSPASIAL NASIONAL


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa bumi, air dan kekayaan alam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa dan merupakan modal dasar bangsa Indonesia, dalam usaha mewujudkan peningkatan kesejahteraan material dan spiritual bagi segenap masyarakat memerlukan pengelolaan yang efektif agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat;

b. bahwa dalam rangka pencerdasan kehidupan bangsa, pengelolaan seluruh potensi sumber daya alam yang mencakup pengaturan, penyelenggaraan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan memerlukan informasi geospasial yang lengkap, akurat dan mutakhir;

c. bahwa setiap pembangunan yang dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu melalui pola pembangunan yang berkelanjutan dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis dan sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan harus berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional akan memiliki implikasi geospasial sehingga memerlukan sistem informasi yang mampu mengetahui potensi sumber daya alam yang mencakup aspek spasial dan aspek non spasial;

d. bahwa peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan informasi geospasial belum sepenuhnya menampung dan mengatur tata informasi geospasial yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan pembangunan, sehingga dipandang perlu untuk menetapkan Undang-undang tentang Tata Informasi Geospasial Nasional.

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);

3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234), sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1988 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);

4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725);

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara tahun 1982 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG TATA INFORMASI GEOSPASIAL NASIONAL


BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Tata informasi geospasial nasional adalah wujud baku dari rangkaian, tata-cara, pedoman yang merupakan siklus berbagai kegiatan yang berkaitan dengan data dan informasi geospasial.

2. Penataan informasi geospasial adalah proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan informasi geospasial.

3. Informasi geospasial atau sering disebut data dan informasi yang bergeoreferensi keruangan atau sering pula disebut data dan informasi spasial adalah setiap data dan informasi keruangan dalam lingkup ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan informasi mengenai lokasi, bentuk, unsur yang terkandung, terjadi pada, di bawah, dan di atas permukaan bumi.

4. Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri.

5. Badan adalah penyelenggara lembaga pemerintah setingkat Menteri yang mendapatkan tugas dan kewenangan dari Pemerintah dalam penyelenggaraan penataan informasi geospasial nasional.

6. Pemerintah Daerah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat Daerah Provinsi.

7. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.

8. Infrastruktur informasi geospasial atau yang sering disebut dengan infrastruktur data spasial adalah sebuah terminologi yang menggambarkan informasi geospasial dasar, standard-standard yang memungkinkan data atau informasi tersebut untuk diintegrasikan, distribusi jaringan untuk menyediakan akses, dan kebijakan dan pengaturan administrasi yang menjamin kekompakan antara perundangan dan lembaga.

9. Sistem referensi geospasial adalah suatu sistem acuan berdasarkan pada tata koordinat baku yang menentukan lokasi atau penyebaran data spasial secara pasti dan tidak meragukan pada di bawah, di atas permukaan bumi.

10. Basis data geospasial adalah informasi geospasial yang disusun dalam format menurut prosedur dan pola penyimpanan, pemutakhiran, penelusuran serta pemanfaatannya.

11. Pengumpulan informasi geospasial adalah kegiatan survei-pemetaan yaitu kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi dari suatu titik atau lokasi yang ada di atas atau di bawah permukaan bumi, batas-batas wilayah, luas, kenampakan budidaya dan non budidaya, baik secara kuantitas maupun kualitas.

12. Pengolahan informasi geospasial adalah kegiatan manipulasi dan konversi informasi geospasial menjadi produk informasi geospasial.

13. Penyajian informasi geospasial adalah kegiatan untuk memvisualisasikan informasi geospasial ke dalam sebuah penggambaran yang sesederhana mungkin dan efektif melalui grafik baik itu yang disajikan pada layar monitor atau format digital maupun kertas atau hardcopy.

14. Penyimpanan informasi geospasial adalah kegiatan atau standard prosedur dan mekanisme penyimpanan untuk pengarsipan atau backup informasi geospasial, yang dilakukan dengan menggunakan penyimpanan elektronik seperti kaset, hard disk, compact disk maupun DVD serta penyimpanan dengan media cetak.

15. Penggandaan informasi geospasial adalah kegiatan memperbanyak informasi geospasial dan produknya tanpa mengubah isi atau pun format dari informasi geospasial tersebut dengan mempertimbangkan hak cipta, privasi dan kebebasan informasi.

16. Pendistribusian informasi geospasial adalah kegiatan untuk disseminasi informasi geospasial dan produk informasi geospasial dengan mempertimbangkan hak cipta, privasi dan kebebasan informasi.

17. Pemetaan adalah pemrosesan data pengukuran, pengamatan dan/atau penginderaan sampai menghasilkan informasi spasial yang disajikan dalam bentuk peta dan bentuk lain.

18. Peta dasar adalah peta garis yang menggambarkan posisi horizontal dan vertikal permukaan bumi dan benda tidak bergerak diatasnya, yang dipakai sebagai dasar pembuatan peta-peta lainnya.

BAB II

ASAS, RUANG LINGKUP DAN TUJUAN

Pasal 2

Asas

Kegiatan penataan informasi geospasial dilakukan berdasarkan asas kebersamaan, keterbukaan, keadilan, keterpaduan, kemanfaatan, kedayagunaan dan keabsahan hukum.

Pasal 3

Ruang Lingkup

Ruang lingkup undang-undang ini meliputi:

1. pengaturan tentang tugas dan wewenang pemerintah dalam penataan informasi geospasial nasional,

2. pengaturan tentang pembinaan dan kerjasama internasional dalam tata informasi geospasial,

3. pengaturan tentang kegiatan-kegiatan pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penyajian, penggunaan, pertukaran, dan penggandaan informasi geospasial,

4. pengaturan tentang hak, kewajiban dan peran masyarakat dalam tata informasi geospasial, dan

5. pengawasan kegiatan penataan informasi geospasial.

Pasal 4

Tujuan

Tujuan penataan informasi geospasial adalah

a. Mengatur kegiatan pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penyajian, penggunaan, pertukaran, penggandaan informasi geospasial dari segala aspek yang dilakukan baik oleh masyarakat luas termasuk swasta maupun pemerintah pada seluruh tingkatan.

b. Meningkatkan daya saing/kompetisi berbagai instansi dan dunia usaha yang memerlukan dan menggunakan informasi tersebut.

c. Memudahkan akses terhadap informasi yang tersebar di berbagai sumber dan diperlukan untuk penggunaan secara multi sektoral.

d. Memungkinkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi data yang berasal dari berbagai sumber sesuai keperluan.

BAB III

INFORMASI GEOSPASIAL

Pasal 7

Aset Nasional

Informasi geospasial merupakan aset nasional yang dihimpun secara sistematik dan non sistematik untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Pasal 8

Kategori Informasi Geospasial

(1) Berdasarkan asal usul atau sifatnya, terdapat tiga jenis kepemilikan informasi yaitu: informasi publik, informasi privat dan informasi negara.

(2) Informasi geospasial publik adalah informasi geospasial yang diadakan dengan dana milik publik dan keberadaannya esensial bagi seluruh masyarakat.

(3) Informasi geospasial negara adalah informasi geospasial yang diadakan khusus untuk menjalankan fungsi negara termasuk di dalamnya fungsi pemerintahan dan fungsi pertahanan-keamanan , dan ketidaktahuan publik atasnya tidak membuat hak asasi mereka terganggu.

(4) Informasi geospasial privat adalah informasi geospasial yang diadakan sendiri dengan dana pribadi untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

(5) Akses terhadap informasi geospasial publik wajib diberikan penyelenggara informasi geospasial dengan semudah-mudahnya dan semurah-murahnya.

(6) Penyelenggara menetapkan kategori informasi geospasial yang merupakan tanggungjawabnya.

(7) Penjelasan lebih jauh tentang kategori informasi geospasial harus mengacu kepada Undang-undang yang mengatur masalah kebebasan memperoleh informasi publik, Undang-undang yang mengatur masalah kerahasiaan negara, dan Undang-undang yang mengatur masalah statistik.

Pasal 9

Klasifikasi Berdasarkan Kandungan Informasi

(1) Berdasarkan kandungan informasinya, informasi geospasial dapat dibedakan menjadi informasi geospasial dasar dan informasi geospasial sektoral.

(2) Informasi geospasial dasar terdiri dari jaring kontrol geodesi dan peta dasar yang mengandung data garis pantai, jaringan perairan, jaringan perhubungan, relief, batas administrasi, nama geografis, bangunan fasilitas umum yang penting dan penutup lahan yang bersifat umum.

(3) Informasi geospasial sektoral adalah informasi yang diselenggarakan oleh instansi sektoral untuk memenuhi kebutuhannya.

BAB IV

TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH

Pasal 10

Tugas Pemerintah

(1) Negara menyelenggarakan penataan informasi geospasial untuk menegakkan keadilan dan kemakmuran rakyat.

(2) Dalam melaksanakan tugas seperti yang dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan kepada Pemerintah.

Pasal 11

Wewenang Pemerintah

(1) Wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan penataan informasi geospasial meliputi:

a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan informasi geospasial nasional, provinsi dan kabupaten/kota;

b. koordinasi dengan lembaga/institusi penyelenggara survei dan pemetaan baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota;

c. kerjasama dan koordinasi antarnegara.

(2) Untuk menyeimbangkan antara hak/kepentingan orang banyak dan kepentingan negara, maka pemerintah berwenang untuk mengkategorikan informasi geospasial sebagai informasi geospasial publik, informasi geospasial privat, maupun informasi geospasial negara.

(3) Dalam kondisi darurat sipil mapun militer, pemerintah berwenang mengubah status atau kategori informasi geospasial publik, informasi geospasial privat, maupun informasi geospasial negara.

Pasal 12

Badan Penyelenggara

(1) Penyelenggaraan penataan informasi geospasial nasional dilaksanakan oleh sebuah sebuah Badan.

(2) Dalam rangka penataan informasi geospasial, Badan bertugas:

a. pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang tata informasi geospasial nasional;

b. pembinaan infrastruktur data spasial nasional;

c. koordinasi kegiatan fungsional;

d. pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang informasi geospasial;

(3) Dalam rangka penataan informasi geografis, Badan berwenang untuk:

a. menyusun rencana nasional secara makro di bidangnya;

b. merumuskan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro;

c. menetapkan sistem informasi di bidangnya;

d. merumuskan dan melaksanakan kebijakan tertentu;

e. menetapkan norma, pedoman, prosedur, standar dan spesifikasi informasi geospasial.

(4) Badan bekerjasama dengan Departemen yang ditugasi Pemerintah untuk mengurusi keuangan Negara mensinkronkan anggaran yang terkait dengan kegiatan informasi geospasial di seluruh sektor.

BAB V

PEMBINAAN DAN KERJASAMA INTERNASIONAL

Pasal 13

Pembinaan

(1) Badan melakukan pembinaan penataan informasi geospasial kepada Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota dan masyarakat.

(2) Pembinaan penataan informasi geospasial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. koordinasi penyelenggaraan penataan informasi geospasial,

b. sosialisasi perundang-undangan dan pedoman penataan informasi geospasial,

c. bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan penataan informasi geospasial,

d. penelitian dan pengembangan,

e. pendidikan dan pelatihan,

f. penyebarluasan informasi penataan informasi geospasial kepada masyarakat, dan

g. pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.

Pasal 14

Kerjasama Internasional

(1) Program kerjasama internasional/ luar negeri dapat dikembangkan seperlunya baik untuk peningkatan kemampuan potensi dalam negeri maupun berupa pemberian bantuan teknis kepada pihak luar negeri yang penyelenggaraannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

(2) Pertukaran dan pengolahan informasi geospasial dalam rangka kerjasama internasional dapat diselenggarakan dalam batas-batas kepentingan ketahanan nasional.

(3) Badan hukum asing yang terlibat dalam penanganan sistem informasi geospasial di wilayah Indonesia diwajibkan bekerjasama dengan badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang yang sama.

(4) Dilarang menggunakan kemampuan personil, sarana dan prasarana, serta produk geospasial atas sebagian atau seluruh wilayah nasional untuk kepentingan asing dan atau yang merugikan negara.

BAB VI

PENATAAN INFORMASI GEOSPASIAL

Pasal 15

Penyelenggara

(1) Penataan informasi geospasial dasar di tingkat nasional secara sistematis diselenggarakan oleh Badan.

(2) Penataan informasi geospasial sektoral, diselenggarakan di lingkungan Departemen/ LPND/Instansi Teknis sesuai ruang lingkup tugas masing-masing.

(3) Penataan informasi geospasial di daerah diselenggarakan oleh lembaga yang ditugaskan oleh pemerintah daerah.

(4) Penataan informasi geospasial terbatas untuk keperluan akademis atau penelitian dapat diselenggarakan oleh lembaga akademis atau penelitian terkait.

(5) Penataan informasi geospasial terbatas untuk keperluan usaha perorangan atau korporasi dapat diselenggarakan oleh pihak yang bersangkutan.

(6) Penataan informasi geospasial terbatas untuk keperluan perorangan atau nirlaba dapat diselenggarakan oleh pihak yang bersangkutan.

Pasal 16

Pelaksana

Penataan informasi geospasial dapat dilaksanakan oleh penyelenggara atau oleh pihak lain yang ditugaskan.

Pasal 17

Koordinasi

(1) Kegiatan-kegiatan penataan informasi geospasial pada tingkat nasional diselenggarakan atas dasar fungsional dan dikoordinasi oleh Badan yang ditugasi untuk itu.

(2) Tujuan koordinasi adalah untuk mewujudkan suatu infrastruktur data spasial nasional yang terkoordinasi, terintegrasi dan tersinkronisasi.

Pasal 18

Infrastruktur Informasi Geospasial

(1) Infrastruktur informasi geospasial melingkupi wilayah nasional, yang meliputi :

a. Informasi geospasial utama yang dikumpulkan dan diolah oleh setiap lembaga penyelenggara informasi geospasial sesuai kompetensi dan standar lembaga masing-masing.

b. Standar informasi geospasial ditetapkan melalui kesepakatan antar lembaga dan dikukuhkan dengan Peraturan Badan.

c. Jaringan pengelolaan yang diselenggarakan atas dasar partisipasi fungsional dari segenap lembaga Pemerintah dalam suatu keterpaduan.

d. Sumber daya manusia yang dibina dalam suatu jabatan fungsional secara nasional.

e. Aktifitas penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi geospasial yang diselenggarakan secara terpadu.

(2) Ketentuan lebih lanjut tentang infrastruktur informasi geospasial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Agar infrastruktur sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) berfungsi dengan baik, maka Badan bertugas untuk:

a. menyediakan sistem referensi geospasial yang dibakukan;

b. membakukan basis data geospasial untuk pertukaran antar lembaga/sektor pada masing-masing lembaga yang terkait;

c. menyiapkan prosedur yang jelas dan praktis untuk memudahkan akses dan pertukaran informasi geospasial antar lembaga disertai pengamanan yang mencukupi;

d. mempromosikan teknologi yang memadai untuk pembangunan infarastruktur geospasial kepada setiap lembaga terkait;

e. mendorong tersedianya sumber daya manusia yang memenuhi kualifikasi yang diperlukan.

BAGIAN SATU:

PENATAAN PENGUMPULAN INFORMASI GEOSPASIAL

Pasal 19

Umum

(1) Pengumpulan informasi geospasial termasuk pemutakhiran secara periodik diselenggarakan dengan pola sistematis mencakup seluruh wilayah nasional.

(2) Pengumpulan informasi geospasial harus memanfaatkan secara optimal segenap potensi yang tedapat pada lembaga pemerintah maupun swasta nasional, dan apabila diperlukan dapat dilengkapi dengan lembaga dari luar negeri.

(3) Dalam kasus pasca bencana alam penyelenggara informasi geospasial harus berusaha memutakhirkan informasi geospasial yang diselenggarakannya.

Pasal 20

Pembakuan

(1) Pembakuan dalam proses pengumpulan informasi geospasial harus dilakukan untuk menjamin bahwa informasi geospasial yang dikumpulkan dapat dimanfaatkan secara optimal dan dapat diintegrasikan serta disinkronkan dengan informasi geospasial lain.

(2) Pembakuan basis data geospasial mencakup

a. referensi geospasial berupa datum geodesi dan jaringan kontrol pemetaan,

b. peta dasar dalam berbagai skala,

c. sistem proyeksi dan sistem koordinat,

d. jenis informasi geospasial beserta pengertian, kriteria dan format standard.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan pembakuan diatur dengan peraturan Badan.

Pasal 21

Keterpaduan

Pelaksanaan atas penyelenggaraan survei dan pemetaan terhadap sebagian atau seluruh wilayah nasional harus dilakukan terpadu untuk menghindari duplikasi.

Pasal 22

Perijinan

(1) Pelaksanaan atas penyelenggaraan pengumpulan informasi geospasial terhadap sebagian atau seluruh wilayah nasional harus dilaksanakan atas ijin, apabila salah satu atau lebih hal di bawah ini berlaku :

a. Menggunakan wahana milik asing.

b. Menggunakan tenaga asing.

c. Pengolahan informasi geospasial di luar negeri.

d. Pengolahan informasi geospasial dengan tenaga asing.

e. Di daerah/wilayah terlarang.

f. Di luar rencana terpadu untuk menghindari duplikasi.

g. Melaksanakan pemotretan udara dengan ketinggian wahana di bawah batasan peraturan perundangan tentang atmosfir.

(2) Ijin sebagaimana dimaksud ayat (1) akan dikeluarkan oleh lembaga yang ditugasi Pemerintah untuk hal ini.

(3) Perijinan di luar ayat (1) menjadi kewenangan Badan atas dasar rekomendasi lembaga sektoral terkait dan/atau Pemerintah Daerah setempat.

BAGIAN DUA

PENATAAN PENGOLAHAN INFORMASI GEOSPASIAL

Pasal 23

Norma, Pedoman, Prosedur, Standar dan Spesifikasi Pengolahan

(1) Pengolahan informasi geospasial harus dilakukan sesuai dengan norma, pedoman, prosedur, standar dan spesifikasi (NPPSS) yang berlaku.

(2) Seluruh penyelenggara penataan informasi geospasial wajib melaporkan dan menyerahkan norma pedoman prosedur standard spesifikasi yang digunakan dalam aktivitas pengolahan informasi geospasial mereka kepada Badan.

(3) Badan mengelola seluruh norma pedoman prosedur standard spesifikasi tersebut untuk keperluan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi.

(4) Badan setelah melalui pengkajian dan penelitian yang melibatkan komunitas informasi geospasial berwenang untuk membatalkan suatu norma pedoman prosedur standard spesifikasi dan merekomendasikan kepada penyelenggara yang mengeluarkan norma pedoman prosedur standard spesifikasi tersebut untuk merevisinya.

Pasal 24

Pengolahan di Negara Asing

(1) Pengolahan informasi geospasial harus dilakukan di dalam negeri.

(2) Apabila pengolahan informasi geospasial dilakukan di luar negeri, maka harus mendapatkan ijin dari lembaga yang ditugasi pemerintah untuk itu.

Pasal 25

Penggunaan Perangkat Lunak

(1) Pengolahan informasi geospasial wajib menggunakan perangkat lunak bebas dan terbuka (free and open-source software).

(2) Apabila perangkat lunak bebas dan terbuka tidak tersedia, maka wajib menggunakan perangkat lunak berlisensi.

(3) Pemerintah menyediakan insentif bagi penyelenggara yang mengembangkan sendiri perangkat lunaknya dan kemudian menjadikannya sebagai perangkat lunak bebas dan terbuka.

BAGIAN TIGA:

PENATAAN PENYAJIAN INFORMASI GEOSPASIAL

Pasal 26

Bentuk Penyajian

(1) Informasi geospasial wajib disajikan dalam salah satu atau lebih bentuk di bawah ini:

a. daftar koordinat,

b. peta cetak, baik dalam bentuk lembaran ataupun buku (atlas),

c. peta digital (softcopy),

d. peta interaktif, termasuk yang dapat diakses melalui internet,

e. peta multimedia,

f. bola dunia (globe), dan

g. model tiga dimensi.

(2) Bentuk penyajian sebagaimana disebutkan pada ayat (1) harus mengikuti norma pedoman prosedur standard spesifikasi.

(3) Bentuk penyajian selain yang disebutkan pada ayat (1) tidak dianggap sebagai informasi geospasial.

Pasal 27

Skala

(1) Skala penyajian ditentukan berdasarkan tingkat ketelitian sumber data dan/atau tujuan penggunaan informasi geospasial.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai skala penyajian sebagaimana disebutkan pada ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Badan.

Pasal 28

Batas Wilayah

(1) Informasi batas wilayah mencakup batas negara, batas antar provinsi, dan batas antar kabupaten/kota.

(2) Informasi batas wilayah yang disajikan harus disertai informasi tentang status penegasan dan kekuatan hukumnya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas wilayah sebagaimana disebutkan pada ayat (2) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 29

Toponimi

(1) Informasi toponim adalah nama-nama geografis yang disajikan pada informasi geospasial.

(2) Penyajian toponim pada informasi geospasial diatur lebih lanjut pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemberian nama geografis.

BAGIAN EMPAT:

PENATAAN PENYIMPANAN DAN PENGAMANAN INFORMASI GEOSPASIAL

Pasal 30

Penyimpanan

(1) Untuk informasi geospasial yang bersifat publik, penyimpanan dilakukan pada masing-masing penyelenggara dan pada beberapa bentuk penyajian yang memungkinkan, duplikatnya diserahkan kepada Badan, lembaga yang bertanggung jawab tentang perpustakaan nasional dan lembaga yang bertanggung jawab tentang arsip negara.

(2) Untuk informasi geospasial yang bersifat negara, penyimpanan dilakukan pada masing-masing penyelenggara dan pada beberapa bentuk penyajian yang memungkinkan duplikatnya diserahkan kepada Badan dan kepada lembaga yang bertanggung jawab tentang arsip negara.

(3) Pelaksana penataan informasi geospasial hanya menyimpan informasi geospasial yang dilaksanakannya atas ijin dan/atau perintah penyelenggara yang memberi tugas kepadanya.

Pasal 31

Pengamanan

(1) Pengamanan mencakup pengamanan informasi geospasial pada seluruh bentuk penyajiannya dan juga infrastruktur fisik yang terkait informasi geospasial yang ada di lapangan.

(2) Informasi geospasial yang dikategorikan sebagai informasi khusus dan bersifat rahasia dapat disandikan dengan suatu metode enkripsi.

(3) Enkripsi sebagaimana disebutkan pada ayat (2) wajib diserahkan kepada lembaga negara yang ditugasi pemerintah untuk itu.

BAGIAN LIMA:

PENATAAN PENGGUNAAN INFORMASI GEOSPASIAL

Pasal 32

Penggunaan

(1) Setiap lembaga pemerintah wajib menggunakan informasi geospasial dalam pengambilan keputusan dan/atau penentuan kebijakan yang berhubungan dengan keruangan.

(2) Pengguna informasi geospasial berhak untuk mengetahui kualitas informasi geospasial yang didapatkannya.

(3) Informasi geospasial yang memiliki kekuatan hukum harus disahkan oleh pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh peraturan perundang- undangan.

(4) Siapapun yang menggunakan informasi geospasial untuk menghasilkan informasi geospasial lainnya atau turunan yang dikomersilkan, wajib memperoleh ijin dari penyelenggara informasi geospasial yang bersangkutan.

Pasal 33

Insentif

(1) Penyelenggara informasi geospasial bertugas mempromosikan penggunaan informasi geospasial yang dimilikinya untuk mendorong pertumbuhan dan daya saing dunia usaha.

(2) Pemerintah memberikan insentif kepada penyelenggara informasi geospasial untuk informasi yang berhasil digunakan secara optimal oleh masyarakat.

(3) Pemerintah memberikan insentif untuk kajian dan penelitian untuk menggunakan informasi geospasial secara optimal.

Pasal 34

Penyalahgunaan

Siapapun dilarang menggunakan informasi geospasial untuk tujuan-tujuan yang melanggar hukum.

BAGIAN ENAM:

PENATAAN PERTUKARAN DAN PENGGANDAAN INFORMASI GEOSPASIAL

Pasal 35

Pertukaran

(1) Untuk meningkatkan kualitas perencanaan, implementasi dan evaluasi kegiatan, informasi geospasial publik harus dapat saling dipertukarkan di antara lembaga penyelenggara informasi geospasial.

(2) Badan memiliki kewenangan untuk mendorong terselenggaranya pertukaran informasi geospaial publik dengan baik.

(3) Informasi geospasial negara dapat dipertukarkan atas kesepakatan lembaga yang terlibat.

(4) Untuk memperlancar proses pertukaran informasi geospasial infrastruktur data spasial dikembangkan berdasarkan perpaduan horizontal dan vertikal pada masing-masing tingkat maupun antara Pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota berdasarkan kompetensi setiap lembaga.

(5) Informasi geospasial negara atau privat yang diperoleh dari suatu penyelenggara hanya dapat dipertukarkan lebih lanjut dengan seijin penyelenggara asal.

Pasal 36

Beban Biaya

Apabila ada beban biaya dari pertukaran sebagaimana disebutkan pada Pasal 35, lembaga-lembaga penyelenggara tersebut dapat membuat kesepakatan kompensasi.

Pasal 37

Pertukaran Informasi Geospasial Internasional

(1) Pertukaran informasi geospasial dalam rangka kerjasama internasional dapat diselenggarakan dalam batas-batas kepentingan Ketahanan Nasional.

(2) Badan berwenang menentukan jenis-jenis informasi geospasial yang dapat dipertukarkan dalam kerjasama internasional.

(3) Keputusan untuk memberikan ijin atas pertukaran informasi geospasial dalam rangka kerjasama internasional menjadi wewenang Pemerintah.

(4) Ijin sebagaimana disebutkan pada Ayat (3) menyebutkan jangka waktu berlakunya.

BAB VII

HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 38

Hak dan Kewajiban

(1) Setiap orang berhak untuk mengetahui, memperoleh dan mendayagunakan informasi geospasial publik untuk meningkatkan kualitas pribadi dan lingkungan sosialnya.

(2) Setiap orang berkewajiban mendukung dalam penyelenggaraan tata informasi geospasial.

(3) Ketentuan pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Badan.

Pasal 39

Peran Serta Masyarakat

(1) Masyarakat baik perorangan, lembaga nirlaba maupun korporasi dapat menyelenggarakan informasi geospasial untuk keperluan sendiri melalui prosedur perijinan yang berlaku, serta mengadakan dan menyelenggarakan sistem informasi geospasial di lingkungannya.

(2) Ijin sebagaimana disebutkan pada ayat (1) hanya diperlukan bila aktivitas tersebut dilakukan di ranah publik.

BAB VIII

PENGAWASAN

Pasal 40

(1) Penataan informasi geospasial harus berada dalam prosedur pengawasan tertentu dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, teknologi, sosial, keamanan negara dan untuk kepentingan pembangunan tata informasi geospasial nasional yang terpadu.

(2) Pengawasan dilakukan oleh masyarakat dan oleh badan pengawas atau komisi independen yang dibentuk pemerintah.

BAB IX

PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 41

(1) Penyelesaian sengketa informasi geospasial pada tahap pertama diselesaikan berdasarkan musyawarah mufakat.

(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X

PENYIDIKAN

Pasal 42

(1) Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pengawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang penataan informasi geospasial diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(2) …….

BAB XI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 43

(1) Barangsiapa sengaja melakukan tumpang tindih pengumpulan informasi geospasial …. atau ….

(2) Barangsiapa sengaja tidak menggunakan pengumpulan informasi geospasial yang diketahui ada ketika melakukan perencanaan tata ruang wilayah ….

(3) Barangsiapa sengaja menghalangi akses pengumpulan informasi geospasial yang dinyatakan sebagai informasi geospasial public

(4) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal..... ayat....... dan pasal ... ayat... dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama ...(...) tahun dan denda banyak Rp.....

(5) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal . ayat.....dipidana dengan pidana kurungan paling lama ... (…) tahun denda paling banyak Rp. ......

(6) Tindakan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan dan tindakan pidana sebagaimana dimaksud ayat (2) adalah pelanggaran.

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 44

Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang penelitian, survei dan pemetaan yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, tetap berlaku sampai dikeluarkannya peraturan pelaksana yang baru berdasarkan Undang-undang.

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 45

(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

(2) Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di : Jakarta

Pada tanggal :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Diundangkan di : Jakarta

Pada tanggal :

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ………. NOMOR……