27 November 2007

Ralat

Ralat adalah salah satu perbendaharaan kata Bahasa Indonesia yang sering digunakan untuk menyatakan suatu tindakan yang bertujuan untuk membetulkan atau memperbaiki sesuatu hal yang dianggap mengandung kesalahan atau kekeliruan, atau ketidaklengkapan. Pengertian ini, walaupun panjang, bukan diperoleh dari kamus bahasa, melainkan hanya pendapat saya pribadi, yang mungkin saja akan saya ralat di kemudian hari.

Ralat dimana-mana.

Hampir semua orang Indonesia tahu inti dari kata 'Ralat' ini. Baik kalangan akademisi, fiskus, praktisi hukum, advertising, media massa, bahkan mungkin hingga ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak SD sudah mafhum dengan arti kata ini. Hampir semua orang juga -saya yakin- pernah memanfaatkan atau menggunakan kata 'Ralat' ini dalam hidup dan kehidupannya. Disadari atau tidak, banyak orang yang memanfaatkan kata ini, hanya saja bentuk dan istilahnya macam-macam tergantung kepada kesesuaian waktu, tempat, dan acaranya. Tidak percaya ?! Tengok saja di dunia hukum, ralat terkadang bisa dilakukan dalam bentuk atau wujud atau lembaga hukum yang lain, misalnya Grasi, Kasasi, atau bahkan Peninjauan Kembali adalah salah satu upaya hukum untuk 'melakukan ralat' atas keputusan hukum yang sudah ditetapkan sebelumnya (biasanya ditetapkan oleh hakim di pengadilan).

Atau di dunia fiskus (perpajakan), ralat bisa dilakukan dengan cara mengeluarkan aturan baru yang setingkat dengan aturan lama, baik dengan menggunakan judul 'ralat' atau tidak. Tengok saja beberapa SK (penempatan) yang mengandung kesalahan, sehingga perlu diralat dengan mengeluarkan 'SK Ralat', sedangkan yang tidak mengandung kata ralat di title atau judul aturan pun banyak. Misalnya Undang-undang KUP yang baru adalah undang-undang yang mengubah (atau me-'ralat') undang-undang KUP yang lama.

Ralat is wajar

Ralat adalah hal yang wajar dalam kehidupan manusia, mengingat manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Ralat merupakan tanda pengakuan bahwa sesuatu telah salah atau keliru, dan selanjutnya bertindak untuk memperbaiki atau menyempurnakannya. Hanya saja, yang namanya ralat tetap mempunyai dua sisi atau efek, seperti halnya yang lain, yaitu efek menyenangkan dan / atau efek menyedihkan. Efek ini sebenarnya adalah hal berbeda dan terpisah dari kegiatan ralat itu sendiri. Artinya, entah akan menimbulkan efek menyenangkan atau malah menyedihkan adalah urusan berikutnya; yang utama adalah bahwa kekeliruan atau ketidaksempurnaan harus dibetulkan atau disempurnakan dengan ralat.

Kewajiban seseorang yang melakukan kesalahan adalah meralatnya. Sedangkan efeknya (efek ralat) bukanlah mutlak tanggung jawabnya. Apabila efeknya tersebut berada dalam rentang kendali orang yang meralat, maka sebaiknya (atau bahkan wajib hukumnya) si peralat untuk menanggung akibatnya juga. Contohnya begini: seseorang telah salah menuliskan penghasilan seseorang sebagai 500.000, padahal seharusnya 1.000.000; maka si peralat harus melakukan ralat dalam daftar penghasilannya, sekaligus ia harus mengembalikan atau memberikan selisih kekurangan yang ditimbulkan oleh ralat itu. Tetapi, apabila efek ralat itu berada di luar kuasa si peralat, maka terhadap yang demikian ini, si peralat tidak bisa dibebani tanggung jawab selanjutnya. Tentu saja, ada efek yang memang sulit untuk dibagi bebannya, seperti rasa sedih, rasa malu, dsb.

Sering Ralat

Permasalahannya adalah apabila seseorang atau institusi sering melakukan ralat terhadap program atau kebijakannya, apatah lagi ralat itu ternyata berkaitan dengan hal-hal penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Nah, kalau sudah begini, tentu saja permasalahannya menjadi sangat rumit. Keseringan melakukan ralat akan membawa kesan kurang terorganisir, kurang profesional, dan kurangnya penguasaan masalah oleh seseorang atau suatu institusi tersebut.

Nah, bagaimana kalau yang melakukan ralat adalah saya atau blog ini yang -saat ini- belum mempunyai penikmat atau pengunjung yang besar, walaupun sedikit banyak sudah meluas karena berada di atas jaringan internet. Bisa jadi, seandainya saya melakukan ralat di kemudian hari -atas tulisan ini saja misalnya- Anda-anda yang sekarang ini membaca postingan ini tidak mengetahuinya. Lalu, bagaimanakah tanggung jawab saya ?

Kemudian, bagaimana menurut pendapat Anda, apabila: yang melakukan ralat itu adalah institusi besar, seperti DJP ? Lalu, bagaimanakah tanggung jawabnya mengingat institusi ini dikenal luas melalui intranet, internet, aturan-aturan yang mendunia yang tentunya efeknya juga mendunia ?

 

Akhirnya, mudah-mudahan saja di blog ini tidak perlu terdapat banyak ralat. Karena kalau terlalu banyak ralat, pasti akan ada yang bertanya: "Ralat lagi ? Apa kata dunia..?"

0 Comments: